Bayangkan kamu sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mungkin sambil menyiapkan makan siang atau menelepon kerabat. Tiba-tiba, dari kamar, terdengar suara tangisan anak. Kamu berlari ke sana, mengira dia jatuh atau terluka. Tapi ternyata, tidak ada luka sama sekali. Dia hanya menangis, entah karena mainan yang tidak bisa disusun dengan benar, atau karena film kartun yang berakhir sedih.
Atau, bayangkan saat kamu sedang santai di akhir pekan, anak tiba-tiba meledak-ledak tanpa alasan yang jelas. Mainan yang biasa dia sukai sekarang dilempar. Kamu yang sebelumnya tenang, kini ikut emosi. Dan yang terjadi selanjutnya? Kamu dan anak saling berteriak.
Reaksi pertama yang muncul di kepala kita mungkin: “Ini anak lagi drama banget sih.” Tapi, pernah kepikiran nggak, kalau di balik amukan atau tangisan itu, sebenarnya ada sesuatu yang lebih dalam?
Anak-anak itu belum punya alat bantu emosi yang cukup kuat. Mereka belum tahu cara mengungkapkan perasaan mereka dengan baik. Jadi, saat mereka marah, frustrasi, atau cemas, cara satu-satunya adalah lewat amukan atau tangisan.
Tapi, kalau ini terjadi terus-menerus dan intensitasnya tinggi, bisa jadi ini bukan cuma “sok drama”. Bisa jadi ini tanda bahwa anak sedang mengalami gangguan emosional atau stres.
Gangguan emosional adalah kondisi di mana anak mengalami perubahan suasana hati yang tidak stabil, sering merasa cemas, takut, atau sedih tanpa alasan yang jelas. Mereka juga bisa menunjukkan perilaku yang sulit dikontrol, seperti marah-marah atau menarik diri.
Beberapa ciri umumnya:
Saat anak menangis atau marah, refleks kita adalah menenangkan dengan cara yang biasa kita lakukan. Tapi, kalau cara itu tidak berhasil, jangan langsung mengatakan anak “lebay” atau “drama”. Ini bisa membuat anak merasa tidak dipahami dan semakin tertekan.
Setelah emosi anak mereda, cobalah ajak dia ngobrol dengan nada yang lembut dan tidak menuduh. Gunakan pertanyaan terbuka seperti:
Catat kapan dan dalam situasi apa anak sering marah atau menangis. Apakah saat:
Ini bisa membantu mengenali pemicu emosional anak.
Anak harus merasa bahwa rumah adalah tempat ia bisa mengekspresikan perasaan tanpa takut dihakimi. Tunjukkan bahwa kamu menerima semua perasaannya, bahkan yang negatif sekalipun.
Katakan hal-hal seperti:
Jangan ragu untuk mencari bantuan profesional jika kamu merasa:
Psikolog anak atau terapis bermain bisa membantu anak mengekspresikan perasaannya dengan cara yang lebih sehat.
Ajak anak menarik napas dalam-dalam melalui hidung, tahan sebentar, lalu hembuskan perlahan melalui mulut. Lakukan ini bersama-sama beberapa kali.
Sentuhan fisik yang hangat bisa membuat anak merasa aman. Peluk anak dengan lembut sambil mengatakan, “Mama di sini, kamu aman.”
Baca buku cerita yang membahas emosi, lalu ajak anak berdiskusi. Tanyakan:
Anak butuh kepastian. Rutinitas yang konsisten bisa membuat mereka merasa aman dan terhindar dari kecemasan yang memicu amukan.
Latih anak untuk mengungkapkan perasaan dengan kata-kata:
Anak yang sering marah atau menangis bukan berarti “susah”. Mereka hanya belum tahu cara menyampaikan apa yang mereka rasakan. Dengan kesabaran, empati, dan dukungan yang tepat, kita bisa membantu mereka tumbuh lebih sehat secara mental.
Ingat, tidak ada anak yang “buruk”. Ada alasan di balik setiap perilaku mereka. Tugas kita sebagai orang tua adalah menjadi detektif emosi yang baik, bukan hakim yang cepat menghukum.
Kalau kamu ingin baca tips-tips serupa, follow Instagram kami di @khadekids ya! Tempatnya ngobrol ringan soal anak dan kesehatan mental yang sering terlewat.
Leave a Comment